“Cinta datang karena terbiasa jika keterbiasaan itu terjadi tanpa ketidaksengajaan” - Dwitasari
Tak
disangka, bulan ini dia akan menikah. Dadaku sesak. Seharusnya aku ikut
bahagia ya? Sahabatku, teman baikku, cinta pertamaku akan segera
menikah. Bukan dengan aku tapi dengan yang lain.
***
“Kamu ini ya, seringnya bikin kaget! Tapi aku seneng lho secepat ini kamu akan melepas masa lajangmu.”
“Ini bukan mauku!” Jawabnya, ketus.
“Hmm..” Aku menatapnya sebentar, lalu kembali mengetik naskah novelku. Dia mengganggu aku yang sedang berimajinasi.
“Witing
tresno jalaran soko kulino.” Dia berkata dengan terbata-bata, berdiri
dari bangkunya lalu berpindah tempat duduk, disampingku.
“Datangnya cinta karena terbiasa.” Aku menatapnya sebentar, menoyor kepalanya lalu kembali mengetik lagi.
“Ih, dengerin gue dulu dong!” Dia menjambak rambutku, memaksaku, lenjeh.
“Apaan?” Aku menatapnya ogah-ogahan dan meninggalkan naskah-naskah itu sejenak.
“Menurut elo perjodohan itu apa?”
“Zaman Siti Nurbaya.” Jawabku, seadanya.
“Gue
dijodohin! Perjodohan itu menyeramkan! Dua orang yang tidak saling
mengetahui satu sama lain dipertemukan dalam suatu waktu dan tempat.
Bukan untuk perkenalan tapi untuk menentukan tanggal pernikahan!
Pernikahan.. Negeri antah-berantah atau mungkin sesuatu yang lebih gila
daripada rumah sakit jiwa!”
“Kenapa elo gak nolak aja?”
“Elo mau tahu, kenapa gue gak bisa nolak?”
“Apa?” Jawabku, penasaran.
“Perjodohan itu salah satu ‘alat’ pembahagiaan“
“Maksudnya?”
“Gini..
Perjodohan itu emang gak bikin gue terlalu bahagia tapi perjodohan itu
bisa membuat orang-orang disekitar gue bahagia.” Dia berkata dan
menatapku dalam-dalam.
“Hmm..” Ibarat paragraf, aku sudah mengetahui komplikasi masalahnya.
“Elo
tahu kan nyokap gue? Dia gak bisa bertahan hidup kalau enggak dikasih
suntikan insulin berkala. Dengan perjodohan ini, gue pengen ngebuat
beliau setidaknya bahagia karena menikah dengan wanita yang beliau
pilihin buat gue. Nyokap gue bilang cinta itu bisa dateng kalau
terbiasa. Terbiasa bertemu, terbiasa saling berbagi, terbiasa saling
perhatian maka cinta akan datang dengan sendirinya.” Dia menjawab semua
pertanyaan yang timbul di otakku kala itu.
“Tapi ini berat!” Dia berkata padaku dengan nada tinggi.
“Kenapa?” Aku kembali bertanya padanya.
“Gue
harus ninggalin sesuatu yang menurut gue bisa bahagiain gue secara
penuh. Termasuk seorang wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati
gue.”
“Kalau tujuannya mulia, Tuhan pasti ngasih yang terbaik
buat elo. Walaupun elo harus ninggalin semua hal yang menurut elo bisa
membuat elo bahagia.” Aku berusaha menenangkannya, walaupun aku juga
merasa miris dan getir.
***
Tanpa ditunggu pun, pernikahan
itu terjadi. Aku melihat disana, seorang laki-laki dan seorang
perempuan duduk di pelaminan, diberi hujanan ucapan dan salaman
kebahagiaan dari semua tamu undangan.
Aku melihat cinta
pertamaku, duduk dipelaminan bukan denganku tapi dengan yang lain. Aku
berjalan ke pelaminan untuk memberikan ucapan. Sulit memang, menahan
perkataan hati yang berkecamuk saat itu, menahan air mata agar tidak
mempermalukan aku di depan dia, cinta pertamaku. Dan jika air mata itu
jatuh di depan dia, aku akan berkata bahwa ini adalah air mata bahagia.
***
5
tahun berlalu. Aku masih single dan masih menyukai menulis. Buku
terbaruku laris dipasaran dan cetakan pertama terjual habis selama 1
bulan. Bagaimana dengan dia? Dia hidup bahagia dengan istri dan kedua
anaknya di Brunei Darussalam, dia bekerja sebagai salah satu petinggi
perusahaan perminyakan di daerah sana.
Hari ini, dia berkunjung
ke Indonesia. Pulang kampung katanya. Melalui chat YM, dia berjanji akan
menemui saya setelah menemui ibunya yang kesehatannya berangsur
membaik.
***
“Udah lama ya?” Aku segera duduk disampingnya dan mengulurkan tangan.
“Cuma
salaman? Udah lama gak ketemu juga!” Dia berdiri dari tempat duduknya,
mengampiriku, duduk disampingku lalu mencium kedua pipiku.
“Jangan bilang istriku ya!”
“Apaan
sih! Emang istrimu bakal mutilasi kamu kalau kamu cuma nyium pipi
sahabatmu? Hahaha.” Candaku membuat dia juga ikut tertawa.
“Haha. Jadi elo masih single ya?” Dia mengawali pembicaraan.
“Orang
mah kalau baru ketemu itu nanya kabar, bukan nanyain status! Iyeee
single haha kenapa?” Aku menjawab pertanyaannya dengan ringan.
“Tahan banget!”
“Well, masih banyak yang harus gue kejar. Masih banyak orang yang harus gue bahagiain.”
“Jangan terlalu keasikan sendirian lo!”
“Cerewet! Gimana kabar istri lo dan anak lo?” Aku bertanya.
“Istri
gue baik. Anak gue udah 2. Yang pertama udah 4 tahun, yang kedua masih 2
tahun. Gimana buku lo? Masih tentang cinta-cintaan lebay? Hahaha”
Jawabnya seadanya, benar-benar tidak berubah sejak 5 tahun berlalu!
“Cinta itu MISTERIUS, ga bisa dipegang tapi kerasa nyata. Makanya gue gak berhenti buat menulis tentang cinta.”
“Oh.” Jawabnya pendek, sepertinya dia tidak tertarik dengan pernyataanku.
“Witing
tresno jalaran soko kulino. Cinta datang karena terbiasa. Jadi, cinta
itu sudah datang kan!” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan ke bahan
pembicaraan yang menurutku ringan-ringan saja.
Dia terdiam dan menatapku kosong. Apa aku salah bicara? Ups.. Sepertinya aku melakukan suatu kesalahan!
“Belum.” Dia menjawab sambil memakan hidangan masakan yang sudah tersedia di depan kami. Tidak berselera.
“Gue salah ngomong ya?” Aku kagok, terdiam.
“Ternyata lo masih inget tentang cerita gue yang perjodohan itu ya?”
“Iya. Karena cerita lo itu bukan main-main.”
“Tujuan
gue gak nolak perjodohan itu bukan cuma gue pengen membuat nyokap gue
bahagia tapi gue juga pengen segera punya keluarga dan anak, cuma itu…”
“Istri
gue bisa memberikan itu semua dan dengan pernyataan cinta datang karena
terbiasa itu, gue percaya suatu saat gue bisa mencintai istri gue
dengan tulus..”
“Tapi semua berjalan gak sesuai kemauan gue.
Istri gue, anak gue, kebahagiaan nyokap gue, semua kosong! Gue
membiarkan semua mengalir tanpa pilihan gue. Buat menyesal bener-bener
udah telat. Dan bodohnya lagi, bagian hati gue masih diisi dengan wanita
itu, bukan dengan istri gue!” Dia menjawab pertanyaanku dengan lengkap.
Aku merasa bersalah.
“Sorry lho, gue gak maksud ikut campur soal kehidupan pribadi lo. Kita ganti topik ya?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Mungkin
ini saatnya gue ngasih tahu lo. Elo mau tahu siapa wanita yang
bertahun-tahun mengisi kekosongan hati gue?” Dia menjawab pertanyaanku
dan membuatku penasaran.
“Nggg.. Rahasia hati lo, jangan dibuka ke gue! Gue comel lho! Haha”
“Tapi elo harus tahu!” Dia berkata dengan sangarnya dan begitu memaksa!
“Siapa?” Aku bertanya dengan nada penasaran.
“Elo..” Dia menjawab pendek tapi mengagetkan!
“Gue? Lucu lo! Makan yuk!” Aku tidak percaya dengan jawabannya yang membuat dia terlihat bodoh.
“Gue
suka cara lo memandang gue. Gue suka kebiasaan lo saat bertemu gue. Gue
suka kebiasaan lo berbagi sama gue. Gue suka kebiasaan lo memberi
perhatian ke gue. Cinta datang karena terbiasa jika keterbiasaan itu
terjadi tanpa ketidaksengajaan. Gue sengaja membiasakan semua yang
terjadi antara gue dan istri gue, makanya cinta gak datang dengan
mudahnya. Tapi semua kebiasaan yang terjadi secara tidak sengaja bersama
lo, gue jadi tahu cinta itu segila apa!” Jawabannya membuat aku shock!
Aku seperti tidak percaya dengan semua yang dikatakannya. Aku terdiam,
tidak bisa berhenti menatapnya, sesak.
“Dan untuk hal yang
terparah, bodoh dan tololnya, gue ngerasain hal yang sama.Cinta itu
gila, dia membuat kita ga rasional! Jujur, gue pengen banget menikah
dengan cinta pertama gue, tapi ternyata dia keburu menikah dengan orang
lain.” Tanpa sengaja aku berkata padanya, benar-benar lisan dan tanpa
kesengajaan.
“Siapa?” Dia bertanya padaku, penasaran.
“Elo lah! Pake nanya lagi!”
Beberapa
detik kami butuhkan untuk saling menatap. Sorotan matanya tergeletak
lemah dimataku. Dia mengulurkan tangannya ke bahuku. Dia menatapku dalam
dan lekat, memelukku dengan erat. Suami orang lain, cinta pertamaku,
saat ini memelukku dengan erat. Tak pernah aku merasa sehangat itu.
with love :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar