Senin, 29 Juli 2013

Resensi “Dear You”

Judul : DEAR YOU
Penulis : Moammar Emka
Penerbit : Gagas Media
Jumlah Halaman : 382 Halaman Soft Cover
Demi apa? Demikian aku mencintaimu.
Kesan pertama saat melihat buku ini adalah Romantis dan Puitis!
Cover eyecatchy membuat buku ini selalu dilirik oleh pengunjung Gramedia. Setelah membuka bukunya, Anda akan dikejutkan dengan layout yang keren dan cantik. Desain buku yang out of the box ini pasti membuat Anda kagum.
Moammar Emka yang lebih dikenal dengan novel-novel erotis, berusaha untuk menawarkan genre yang lebih romantis. “dari erotis ke romantis”.
Seperti pada tulisan yang tercetak di sampul belakangnya, “Dear You, Buku ini dipersembahkan untuk cinta, demi cinta dan kepada cinta.” Buku ini memeng diperuntukkan bagi Anda semua yang sedang jatuh cinta dan mencari inspirasi kata-kata cinta untuk di share di facebook atau twitter, bukan hanya dari segi kata-katanya yang puitis tetapi juga ilustrasi yang begitu indah pada tiap lembar halaman buku ini.
Buku ini bukan sebuah novel roman, tidak ada nama tokoh di dalamnya juga. Meskipun buku ini tidak memiliki daftar isi, tetapi buku ini memiliki BAB yang terdiri dari tema yang berbeda. Setiap BAB juga menghadirkan puisi sesuai dengan tema BAB yanga ada. Setiap puisi juga diberi nomor urutan dengan kata “Dear You…” yang seolah sedang ditujukan kepada seseorang yang memang menginspirasi Moammar Emka dan membuatnya jatuh cinta, Seperti ini contohnya :
“2. Dear You, aku mencintaimu bukan dalam terang siang. Aku mencintaimu dalam kegelapan dengan hati sebagai mataku.
“21. Dear You, maaf jika aku tak di sana ketika aku gelisan. Maaf jika aku tak punya kendali atas wujud dan jarak. Maaf untuk semua gelisah yang kau rasakan. Maaf karena diam-diam aku yang egois ini senang saat rindumu hanya untukku seorang.”
Bagaimana, romatis bukan cuplikan diatas?
Meskipun buku ini berisi kumpulan puisi, tetapi tetap memiliki alur seperti sebuah cerita. Sehingga ketika membacanya Anda akan memahami rasa yang berusaha diungkapkan oleh sang penulis. Selain itu juga buku ini bukan berisi gombalan gombalan konyol atau lebay karena diksi yang digunakan oleh Moammar Emka sangat kaya akan kaidah kasusatraan. Romantis. Itulah yang memang pantas di sandang oleh Dear You.
Over all, buku ini bagus untuk Anda yang sedang mencari inspirasi soal percintaan ataupun seni, Tapi, bagi mereka yang sedang skeptis soal rasa cinta, buku ini hanya akan menyuguhkan deretan kata gombal atau bullshit. Dengan harga Rp. 46.000 Anda juga bisa mendapatkan 2 kartu cinta yang cantik dan bisa Anda berikan pada pujaan hati. Buku ini juga bisa berikan sebagai kado bagi pujaan hati Anda

Minggu, 28 Juli 2013

DEAR YOU

Haruskah kita tidakacuh dan mengingkari rasa saling itu?
Sementara di setiap kedip mata, rindu membilas
kekeringan rasa kita.
Buncah rasa luar biasa saat bersama mu,
tak merangkul waktu lagi.
Dan aku tak terbiasa.
Sendiri lagi, sanggupkah ku?
Dalam sadarku, telah kusunting luka.
Dan kuterima, sakitnya memang luar biasa.
Inikah yang kubela?
Maaf, aku tak menyajikan apa-apa,
kecuali seikat kebersamaan.
Kupikir kamu mulai kecewa.
Mungkinkah?
Jawabnya cuma ada : ENTAH!
Entah dimana,
entah kapan masanya,
cinta itu memanggilku lagi?
Jika itu terjadi semogga kamu lah tujuanku berlari - sekali lagi.

Kamis, 25 Juli 2013

Sinopsis Film Cinta Tapi Beda

Cahyo, cowok ganteng asal Yogja, bekerja sebagai chef di Jakarta. Ia anak pasangan Fadholi dan Munawaroh, keluarga muslim yang taat beribadah. Cahyo berusaha lepas dari kesedihan setelah ditinggal selingkuh sang kekasih, Mitha
Diana, gadis asal Padang. Perempuan berparas sangat Indonesia, mahasiswa jurusan seni tari. Ia tinggal bersama om dan tantenya di Jakarta. Keluarga Diana penganut Katolik taat. Cahyo dan Diana bertemu di pertunjukan tari kontemporer di Jakarta. Mereka memutuskan berpacaran walaupun berbeda keyakinan. Mereka bahkan serius melanjutkan hubungan hingga jenjang pernikahan
Diana was-was ketika Cahyo mengajaknya menemui orangtuanya. Ibu Cahyo bisa memahami cinta anaknya, tapi tidak Pak Fadholi. Sampai kapan pun Pak Fadholi tidak akan merestui Cahyo. Bila Cahyo memaksa, Pak Fadholi memilih memutus ikatan tali keluarga. Ternyata tidak mudah bagi Cahyo dan Diana menjalani cinta beda keyakinan
Ibu Diana juga keberatan dengan pilihan putrinya. Kakak-kakak Diana, termasuk om dan tantenya, telah meninggalkan keyakinan mereka. Ibu Diana memaksa Diana mengikuti kehendaknya. Itu sebabnya, Diana akhirnya memilih kembali ke Padang dan menerima perjodohan dengan dokter Oka, lelaki pilihan ibunya dan seiman. Ia coba tutup hatinya untuk Cahyo
Cahyo melewati masa terburuk dalam hidupnya. Cahyo berkesimpulan bahwa Diana tak ada bedanya dengan Mitha yang lari ke pelukan laki-laki lain. Di Padang, Diana berusaha mencintai Oka, dan Oka berusaha membantunya melupakan Cahyo
Ada satu yang masih sulit dilupakan Cahyo maupun Diana, bahwa mereka sesungguhnya telah diikrarkan bukan karena keyakinan, tapi karena cinta...Tapi apakah keduanya bisa dipersatukan atas nama cinta dan Tuhan? Waktu yang akan menjawabnya! 
  
Trailer Film Cinta Tapi Beda 


Trailer Film Cinta Tapi Beda

CINTA TAPI BEDA (oleh. Ahmad Rofiki)

Setelah Sally menghilang dari kehidupan gue. Gue di pertemukan teman-teman yang berbeda, yaitu teman yang ada di UNJ jurusan Pendidikan Sosiologi REG 2012. Waktu pertama kali masuk PSR gue ngerasa gue ga punya temen, rasa yang gue rasakan saat itu adalah kesunyian, kehampaan setelah MPA gue laluin dengan Bete, Kesel, Capek dan tanpa Kawan satu pun. Gue masuk di PSR satu-satunya orang yang bawa bekel di kelas, lagian gue ga sarapan dari rumah. Satunya cara supaya ga sakit cuman bawa bekel.

Setelah itu ada tugas pertama yang dikasih dosen pada mata kuliah Sosiologi, di situlah gue mulai mengenal kawan-kawan baru yang bernama. Daru, Tyas, Fika, Loli, Sinta, Yanti. Kita di suruh bikin tugas tentang Stratifikasi Sosial. Nah kebetulan di kelompok gue ada Daru, yang gue rasa pinter orangnye sm Loli juga. Eh gataunya teman-teman, parabet. Gue juga yang ngerjain ringkasan ditulis di polio buat diketik dippt. Trus emang nasib jomblo kali yaa, di ledekin muluuu. Jadi teman-teman, gue di ledekin cie cie sama Sinta. Hhaha hayam
Cinta Tapi Beda
Jurusan gue ngadain MAKRAB. Gue bela-belain ga ikut MAKRAB dengan alasan gue ikut UKM. Dengan harapan gue bisa menjadi artis seperti Sule. Setelah gue masuk ke UKM gue latihan drama, gue melakukan apa yang disuruh kakanya yaitu berakting. Tapi apa daya yang gue bisa perbuat, gue akhirnya keluar juga dari UKM karena ga kuat pulang latihannya terlalu Malam. Trus juga acara PKMJ gue ga ikut, gatau kenapa emg dasar gue males kale yak, hehe.

Setelah gue dengan kelompok Sosiologi, gue sering ngobrol sama Loli. Yaa kebetulan aja gue selalu duduknya deket sama dia trus kita satu kelompok. Di kelas gue suka manggil-manggil dia, yaa emang karena gue cuma kenal dia doang belum kenal yang lain. Gatau kenapa gue bisa nyambung kalo ngobrol sama dia, lagi pula dia orangnya asyik dan baik, manis pula. Sehingga akhirnya timbullah gossip yang beredar bahwa gue sukain dia di kelas. Yaa mungkin ini resiko cowo klo betemen sama cewe di gossipin, haha

Setelah kelompok Sosiologi, gue dapet tugas kelompok Ekonomi. Temen-temen baru gue dapetin, namanya Firman, Maria dan Julia. Waktu gue kerjain Ekonomi mepet banget gue, buru-buru mengejar waktu. Gara-gara gue ngerjain Ekonomi, inilah yang mutusin gue buat berenti dari latihan UKM. Kalo watak dari temen-temen gue, kata temen-temen gue Firman orangnya Alim kayak Ustad. Fisiknya juga ada jenggot kaya kyai, haha. Jago maen marawis, bhasa arab juga lumayan. Sekarang ada kelebihannya dia, sumpah dia lucu abis. Ga nyangka gue, dia selucu dan segokil seperti sekarang. Kalo karakter Maria, gue kira dia orangnya asyik soalnya suka manggil-manggil gue waktu pertama kenal. Eh lama-lama males gue, soalnya dia selalu ngeledekin gue. Kalo Julia gatau gue, kami jarang ngobrol.

Setelah kelompok Ekonomi, ada kelompok Sejarah. Gue satu kelompok bersama Husen dan Hasan. Husen ini dari undangan anak SMAN tangerang, anak kost. Hasan kata temen-temen gue orangnya pendiem, tapi sekalinya ngomong nyesek. Gatau lagi karakter dari mereka soalnya jarang ngobrol gue.

Nama gue Cahyo, gue mencintain orang yang berbeda dari gue, beda dari orangtua, asal usul gue, lingkungan gue, agama gue. Orang yang gue cintain itu bernama Sinta , mungkin kita tinggal didunia pasti sudah ditakdirkan menjadi anak. Entah itu menjadi anak orang kaya atau miskin, memeluk agama atau tidak, memakai budaya apa. Tapi ketika semua itu dihadapkan dengan perasaan cinta pasti menimbulkan suatu kejolak. Seperti gue sekarang ini, gue dipertemukan dengan seseorang yang beda.

Waktu itu gue cuma main-main doang atau becanda, gue ngeledekin dia pada saat pelajaran ekonomi berlangung " Gue mau nanya dong? gue mau nanya tapi... tapi yang jawab harus cewe pake baju warna biru kotak-kotak!" sontak temen-temen langsung ketawa. hahaha cieeeee Cahyo. Semenjak kejadian itu temen-temen gue semua menganggap bahwa gue suka beneran sama dia, tapi gue mah santai-santai aja woles gajah. Kehidupan gue langsung berubah menjadi lebih berwarna ketika temen-temen ngeledekin gue sama dia. Berwarnanya dimana karena gue sama dia beda, berbeda keyakinan dan budaya. Entah apa kata temen-temen kalo emang beneran gue jadian sama dia? Oh ga bisa ga bisa gue bayangin.

Semua alat bantu untuk gue komunikasi sama dia udah gue dapetin, mulai dari nomer telepon, twitter, add facebook. Memudahkan gue untuk, yaah untuk ngobrol lah walau itu dikit. Sebenarnya ada kegiatan yang pengen banget gue lakuin yaitu gue mau main drama bareng sama dia. Disitu gue ceritanya akan menembak dia, tapi sayang banget acara lomba itu ternyata gagal. Menghilang tanpa kabar dan itu hanyalah menjadi harapan gue. Kalo alat komunikasi sudah dapet, gue lagi mencari Identitas dia, mulai dari alamat rumah, nama orangtua, tapi yang gue tau dia tuh tinggal di Depok.

Tapi Depok itu jauh dan gue belom pernah sama sekali pergi ke Depok. Gue mulai merasakan suatu hal yang mungkin gue ga boleh untuk merasakannya, waktu itu emang gue niatnya cuman... cuman emang bener-bener becanda. Namun rasa itu datang dengan sendirinya tak tau kenapa datang, rasa yang membuat gue benar-benar pusing tujuh keliling, mabuk kepayang yaitu rasa suka sama dia. Tapi rasa itu terbentur dengan adanya perbedaan diatara kita, kita beda. Perbedaan itu terlihat dari keyakinan, budaya, latar belakang, status.

Keyakinan gue yang dari kecil memeluk agama islam, sedangkan dia agama nasrani. Budaya gue yang memakai budaya orang betawi, sedangkan dia budaya orang batak. Latar belakang gue yang katanya orang betawi itu adalah suku paling ramah di Indonesia, sedangkan dia suku batak yang terkenal suku paling keras di Indonesia. Status dia yang anak orang kaya, sedangkan gue anak yang biasa-biasa saja. Budaya batak pada saat perkawinan adalah tidak boleh menikah dengan sesama marga. Budaya betawi yang mengharuskan laki-laki harus menikah dengan perempuan betawi. Suku betawi bertemu dengan suku batak, gue rasa bakalan jadi seperti permainan lenong. Lah ‘kan kedua suku itu jago ngelawak, hahaha


#CINTA TAPI BEDA.
GUE GAK MUNGKIN BISA BERSATU SAMA DIA.
KARENA LINGKUNGAN KAMI YANG BEDA !!
PROFIL PENULIS
Ahmad Rofiki
Pendidikan Sosiologi UNJ'12
ahmad.rofiki.23 Facebook

Mungkin, aku terlalu berharap banyak (oleh. Dwitasari)

Rasanya semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi sama. Kamu hadir membawa banyak perubahan dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi lebih berwarna ketika sosokmu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Tak ada percakapan yang biasa, seakan-akan semua terasa begitu ajaib dan luar biasa. Entahlah, perasaan ini bertumbuh melebihi batas yang kutahu.



Aku menjadi takut kehilangan kamu. Siksaan datang bertubi-tubi ketika tubuhmu tidak berada di sampingku. Kamu seperti mengendalikan otak dan hatiku, ada sebab yang tak kumengerti sedikitpun. Aku sulit jauh darimu, aku membutuhkanmu seperti aku butuh udara. Napasku akan tercekat jika sosokmu hilang dari pandangan mata. Salahkah jika kamu selalu kunomorsatukan?

Tapi... entah mengapa sikapmu tidak seperti sikapku. Perhatianmu tak sedalam perhatianku. Tatapan matamu tak setajam tatapan mataku. Adakah kesalahan di antara aku dan kamu? Apakah kamu tak merasakan yang juga aku rasakan?

Kamu mungkin belum terlalu paham dengan perasaanku, karena kamu memang tak pernah sibuk memikirkanku. Berdosakah jika aku seringkali menjatuhkan air mata untukmu? Aku selalu kehilangan kamu, dan kamu juga selalu pergi tanpa meminta izin. Meminta izin? Memangnya aku siapa? Kekasihmu? Bodoh! Tolol! Hadir dalam mimpimu pun aku sudah bersyukur, apalagi bisa jadi milikmu seutuhnya. Mungkinkah? Bisakah?

Janjimu terlalu banyak, hingga aku lupa menghitung mana saja yang belum kamu tepati. Begitu sering kamu menyakiti, tapi kumaafkan lagi berkali-kali. Lihatlah aku yang hanya bisa terdiam dan membisu. Pandanglah aku yang mencintaimu dengan tulus namun kau hempaskan dengan begitu bulus. Seberapa tidak pentingkah aku? Apakah aku hanyalah persimpangan jalan yang selalu kau abaikan – juga kau tinggalkan?

Apakah aku tak berharga di matamu? Apakah aku hanyalah boneka yang selalu ikut aturanmu? Di mana letak hatimu?! Aku tak bosa bicara banyak, juga tak ingin mengutarakan semua yang terlanjur terjadi. Aku tak berhak berbicara tentang cinta, jika kau terus tulikan telinga. Aku tak mungkin bisa berkata rindu, jika berkali-kali kauciptakan jarak yang semakin jauh. Aku tak bisa apa-apa selain memandangimu dan membawa namamu dalam percakapan panjangku dengan Tuhan.

Sadarkah jemarimu selalu lukai hatimu? Ingatkah perkataanmu selalu menghancurleburkan mimpi-mimpiku? Apakah aku tak pantas bahagia bersamamu? Terlau banyak pertanyaan. Aku muak sendiri. Aku mencintaimu yang belum tentu mencintaiku. Aku mengagumimu yang belum tentu paham dengan rasa kagumku.


Aku bukan siapa-siapa di matamu, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Sebenarnya, aku juga ingin tahu, di manakah kau letakkan hatiku yang selama ini kuberikan padamu. Tapi, kamu pasti enggan menjawab dan tak mau tahu soal rasa penasaranku. Siapakah seseorang yang telah beruntung karena memiliki hatimu?


Mungkin... semua memang salahku. Yang menganggap semuanya berubah sesuai keinginanku. Yang bermimpi bisa menjadikanmu lebih dari teman. Salahkah jika perasaanku bertumbuh melebihi batas kewajaran? Aku mencintaimu tidak hanya sebagi teman, tapi juga sebagai seseorang yang bergitu bernilai dalam hidupku.

Namun, semua jauh dari harapku selama ini. mungkin, memang aku yang terlalu berharap terlalu banyak. Akulah yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari letakmu yang sengguh jauh dari genggaman tangan. Akulah yang bodoh. Akulah yang bersalah!

Tenanglah, tak perlu memerhatikanku lagi. Aku terbiasa tersakiti kok, terutama jika sebabnya kamu. Tidak perlu basa-basi, aku bisa sendiri. Dan, kamu pasti tak sadar, aku berbohong jika aku bisa begitu mudah melupakanmu.

Menjauhlah. Aku ingin dekat-dekat dengan kesepian saja, di sana lukaku terobati, di sana tak kutemui orang sepertimu, yang berganti-ganti topeng dengan mudahnya, yang berkata sayang dengan gampangnya.

dari seseorang yang kehabisan cara
membuktikan rasa cintanya

Serigala dan Orang Arab (oleh. Franz Kafka)

SAAT itu kami sedang berkemah di sekitar oasis. Teman-temanku sudah tertidur sejak tadi. Tiba-tiba seorang Arab dengan perawakan jangkung dan kulit putih melintas, rupa-rupanya dia sedang mengurus unta-untanya dan mencari tempat untuk istirahat.
Aku merebahkan diri di rerumputan dan mencoba untuk memejamkan mata, tapi tidak bisa karena suara lolongan serigala terdengar dari kejauhan. Aku pun terbangun, dan serigala yang lolongannya terdengar sangat jauh tadi, tiba-tiba sudah muncul di hadapanku. Gerombolan serigala itu berputar mengelilingiku. Sorot matanya kuning gelap, gerakannya lincah dan berirama, seolah-olah mereka baru saja menjadi juara.
Seekor serigala datang dari belakangku lalu menyentuh tanganku seperti meminta kehangatan. Kemudian, dia berdiri di hadapanku dan mata kami pun hampir saling beradu.
"Aku adalah serigala tertua di mana pun. Aku sangat gembira karena akhirnya dapat berjumpa denganmu. Aku hampir putus harapan, dari tahun ke tahun engkau kami nantikan. Tidak hanya aku, ibuku, ibunya, dan juga nenek moyang kami, percayalah."
"Menakjubkan sekali," ucapku.
Gundukan kayu bakar yang semula siap dibakar untuk mengusir gerombolan serigala akhirnya terlupakan begitu saja.
"Aku sangat takjub mendengar itu semua. Ini adalah kebetulan yang tidak diduga, dan perjalananku kemari hanyalah perjalanan singkat untuk menjelajahi negerimu. Selain itu apa lagi yang kalian butuhkan dariku?"
Dengan memberanikan diri meminta gerombolan serigala mendekat padaku, mereka semua melongo setelah aku belai dengan sayang.
"Kami tahu," serigala tertua memulai,
"engkau datang dari utara, seperti apa yang kami harapkan. Kecerdasan orang utara tidak akan dijumpai di antara orang-orang Arab, tidak sedikit pun, akan aku ceritakan padamu bagaimana keangkuhan mereka. Mereka membunuh binatang untuk dijadikan bahan makanan, dan menghinakan bangkainya begitu saja."
"Jangan keras-keras," ucapku,
"Ada orang-orang Arab dekat situ."
"Kau pun orang asing di sini," timpal serigala.
"Atau kau belum tahu bahwa tidak pernah ada dalam sejarah, serigala takut kepada orang Arab. Untuk apa kami takut kepada mereka? Bukan sebuah kemalangan bagi kami, bila harus dikucilkan dari makhluk-makhluk seperti itu?"
"Mungkin," ucapku.
"Permasalahan ini ada di luar wilayahku dan aku tidak berhak menilainya, ini sepertinya perseteruan yang sudah sangat purba, aku mengira ini semua akan berakhir dengan darah."
"Kau sangat pandai," ucap serigala tua,
mereka mulai menjulur-julurkan lidahnya dan terengah-engah karena udara terus dipompa keluar dari paru-paru mereka meskipun mereka sedang diam, kadang-kadang bau busuk keluar dari rahang-rahang mereka.
"Kau sangat pandai, dan yang kauucapkan baru saja sesuai dengan tradisi turun-temurun kami. Kami akan menagih darah dari mereka, dan perseteruan ini akan berakhir."
"Aduh," ucapku, mereka sangat berapi-api, dibandingkan dengan apa yang aku harapkan,
"Mereka akan mempertahankan diri mereka, dan akan memberondongkan senapannya hingga kalian semua mati terbunuh."
"Kau salah mengerti kami," ucapnya.
"Inilah kekurangan manusia di mana pun bahkan di daerah utara yang sangat jauh. Kami tidak bermaksud membunuh mereka, dan air Sungai Nil pun tidak mungkin cukup untuk membersihkan kami dari darah-darah mereka. Sebab kesukaan mereka pada daging membuat kami takut dan melarikan diri ke tempat yang lebih aman, gurun pasir, dan itulah rumah kami."
Dan semua serigala berkeliling, juga serigala yang lain yang datang dari jauh, mereka menekuk moncongnya di antara kaki depannya dan diusap-usap dengan cakarnya, mereka seperti sedang menyembunyikan sebuah kebencian yang sangat, aku ingin sekali melompati kepala mereka dan melarikan diri.
"Lalu, apa yang kalian rencanakan?" tanyaku pada mereka, aku mencoba untuk bangkit, tapi tak bisa, dua serigala muda di belakangku menggigit jaket dan bajuku, aku mencoba untuk duduk.
"Ini adalah kereta yang akan membawamu," jelas serigala tua, dengan serius.
"Tanda penghormatan."
"Lepaskan aku!"
Aku menangis, mengiba pada serigala tua, lalu ke serigala muda.
"Mereka pasti melepaskanmu," ucap serigala tua yang lain, "jika itu memang yang kauinginkan, tapi memakan waktu agak lama, karena gigi-gigi mereka masih sangat baik, seperti kebiasaan kami, mereka harus mengendurkan gigitan itu sedikit demi sedikit. Sementara kau menunggu itu, dengarkan petisi kami."
"Tindakan kalian cenderung membuatku sulit untuk menyetujuinya," ucapku.
"Jangan coba-coba melawan kami yang sangat tidak bijak," timpalnya, dan sekarang suaranya tiba-tiba terdengar menjadi sedih.
"Kami makhluk lemah, kami tidak punya apa-apa kecuali gigi, apa pun yang ingin kami lakukan baik buruk atau tidak, kami cuma bisa mengerjakannya dengan gigi."
"Baik, sekarang apa yang kauinginkan?" tanyaku dengan tidak begitu tenang.
"Tuan," dia menangis, dan semua serigala melolong, tampak seperti sebuah nyanyian.
"Tuan, kami ingin kau mengakhiri perseteruan ini yang menyebabkan dunia terpecah. Engkau adalah orang yang tepat, seperti yang sudah diramalkan moyang kami, engkau dilahirkan untuk melakukan itu. Kami tidak ingin disusahkan lagi oleh orang Arab, tempat bernapas dan kaki langit bebas dari mereka, tidak ada lagi domba yang mengembik karena dipotong oleh orang Arab, tiap binatang liar mati dengan sendirinya, tidak ada campur tangan manusia hingga kami memakan bangkai itu dan memungut tulang-tulangnya sampai habis. Tak lebih, hanya kebersihan yang kami inginkan," mereka meratap dan menangis terisak-isak.
"Bagaimana mungkin kau tinggal di dunia seperti ini. O, hati yang mulia dan penuh kebaikan? Mereka yang putih adalah sampah, mereka yang hitam adalah sampah, janggut mereka adalah sebuah kengerian, tatapan tajam mata mereka membuat seseorang ingin meludah, dan ketika mereka mengangkat lengannya terlihat menganga di ketiaknya. Begitulah tuan, tuan yang kami sayangi, dengan segala kekuatan tanganmu celah kerongkongan mereka akan selesai dengan gunting ini!"
Dan jawabannya, sebuah sentakan kepala seekor serigala yang datang dengan mengeluarkan gunting jahit yang dilapisi masa lalu yang telah berkarat, membayang dari gigi taring sebelah atas.
"Baik, akhirilah gunting itu di sini, dan sekarang waktunya untuk menyudahi itu semua!," teriak pemimpin kafilah yang datang dengan perlahan melawan arah angin, dan memperlihatkan cambuknya.
Serigala-serigala itu dengan tergesa-gesa melarikan diri, tapi pada jarak yang tidak jauh mereka berkumpul dan mengatur siasat, semua makhluk bengis itu berkumpul dengan rapat dan merencanakan sesuatu yang jahat, dan mereka terlihat seperti diikat dalam sebuah ikatan dari seutas keinginan yang berkelebat.
"Rupanya kau juga telah ikut dalam pertunjukan ini, tuan," ujar orang Arab, tertawa dengan gembira dan bebasnya.
"Tahukah kamu apa yang akan dilakukan oleh serigala-serigala bengis itu kemudian?" tanyaku.
"Tentu," jawabnya
"Ini pengetahuan yang sangat umum, betapa lama sudah keberadaan orang Arab, gunting itu telah berhasil melewati pengembaraannya di padang pasir, dan akan mengembara bersama kami sampai ke ujung hari. Setiap orang Eropa ditawarinnya pekerjaan besar, setiap orang Eropa adalah orang yang bertakdir untuk dipilih oleh mereka. Mereka memiliki harapan yang gila, binatang-binatang liar ini bodoh, bahkan sangat bodoh. Sebab itulah kami menyukai mereka, mereka adalah anjing-anjing kami, anjing yang menyenangkan. Sekarang lihat ini, seekor unta yang mati tadi malam dan aku telah menyuruhnya dibawa kemari."
Empat orang datang dengan bangkai yang berat dan dijatuhkan di depan kami. Bangkai itu telah jatuh ke tanah dengan kerasnya sebelum serigala-serigala sempat mengeluarkan suara. Seperti tidak tertahankan mereka menghela tali-tali, dan mulai bergerak dengan ragu-ragu, merayap di atas perutnya. Mereka telah melupakan orang-orang Arab itu, melupakan kebencian mereka, terciumnya daging bangkai yang berbau busuk sangat menggiurkan mereka. Seekor serigala telah di tenggorokan unta, menghunjamkan gigi-giginya ke dalam urat nadi. Dengan semangat yang berapi-api, berusaha keras sampai batas keputusasaan, semua otot yang ada di tubuhnya kejang saat melakukan tugas berat itu. Dalam sekejap mereka semua sudah di atas bangkai itu, bekerja sama, berkumpul seperti gunung tinggi.
Dan sekarang pemimpin kafilah mencambukkan pecutnya secara bergantian ke arah punggung mereka. Mereka semua mengangkat kepalanya dalam keadaan setengah tak sadar karena sedang asyiknya, melihat orang-orang Arab berdiri di belakang mereka, merasakan pukulan cambuk di moncongnya, dan mencoba melarikan diri dari orang-orang Arab itu. Tapi darah unta itu telah menggenang, tercium sampai ke surga, bangkai itu telah tercabik-cabik di sekujur tubuhnya. Mereka tidak mungkin menolak ini, mereka pasti kembali lagi, sekali lagi pemimpin kafilah mencambukkan pecutnya dan aku mencoba untuk menahannya.
"Engkau benar tuan," ucapnya, "kita akan meninggalkan mereka untuk usaha mereka, lagi pula sekarang waktunya berkemas. Baik, kau telah menyaksikan bagaimana mereka. Makhluk yang mengagumkan bukan? Dan betapa mereka membenci kita!"
****
Diterjemahkan Taufiqurrahman dari sumber William Peden (ed). 1971. Short Fiction-Shape and Substance, Houghton Mifflin Company, Boston

The Bucket Rider (by. Franz Kafka)



Coal all spent; the bucket empty; the shovel useless; the stove breathing out cold; the room freezing; the leaves outside the window rigid, covered with rime; the sky a silver shield against anyone who looks for help from it. I must have coal; I cannot freeze to death; behind me is the pitiless stove, before me the pitiless sky, so I must ride out between them and on my journey and seek aid from the coal dealer. But he has already grown deaf to ordinary appeals; I must prove irrefutably to him that I have not a single grain of coal left, and that he means to me the very sun in the firmament I must approach like a beggar, who, with the death rattle already in his throat insists on dying on the doorstep, and to whom the grand people's cook accordingly decides to give the dregs of the coffeepot; just so must the coal dealer, filled with rage, but acknowledging the command, "Thou shalt not kill," fling a shovelful of coal into my bucket.



My mode of arrival must decide the matter; so I ride off on the bucket. Seated on the bucket my hands on the handle, the simplest kind of bridle, I propel myself with difficulty down the stairs; but once down below my bucket ascends superbly, superbly; camels humbly squatting on the ground do not rise with more dignity, shaking themselves under the sticks of their drivers. Through the hard frozen streets we go at a regular canter; often I am upraised as high as the first story of a house; never do I sink as low as the house doors. And at last I float at an extraordinary height above the vaulted cellar of the dealer, whom I see far below crouching over his table, where he is writing; he has opened the door to let out the excessive heat.



"Coal dealer!" I cry in a voice burned hollow by the frost and muffled in the cloud made by my breath, "please, coal dealer, give me a little coal. My bucket is so light that I can ride on it. Be kind. When I can I'll pay you."



The dealer puts his hand to his ear. "Do I hear rightly?" he throws the question over his shoulder to his wife. "Do I hear rightly? A customer."



"I hear nothing," says his wife, breathing in and out peacefully while she knits on, her back pleasantly warmed by the heat.



"Oh, yes, you must hear," I cry. It's me; an old customer; faithful and true; only without means at the moment."



"Wife," says the dealer, "it's someone, it must be; my ears can't have deceived me so much as that; it must be an old, a very old customer, that can move me so deeply."



"What ails you, man?" says his wife, ceasing from her work for a moment and pressing her knitting to her bosom. "It's nobody, the street is empty, all our customers are provided for; we could close down the shop for several days and take a rest."



"But I'm sitting up here on the bucket" I cry, and unfeeling frozen tears dim my eyes, "please look up here, just once; you'll see me directly; I beg you, just a shovelful; and if you give me more it'll make me so happy that I won't know what to do. All the other customers are provided for. Oh, if I could only hear the coal clattering into the bucket!"



"I'm coming," says the coal dealer, and on his short legs he makes to climb the steps of the cellar, but his wife is already beside him holds him back by the arm and says: "You stay here; seeing you persist in your fancies I'll go myself. Think of the bad fit of coughing you had during the night But for a piece of business, even if it's one you've only fancied in your head you're prepared to forget your wife and child and sacrifice your lungs. I'll go."



"Then be sure to tell him all the Kinds of coal we have in stock; I'll shout out the prices after you."



"Right," says his wife, climbing up to the street. Naturally she sees me at once. "Frau Coal dealer," I cry, "my humblest greetings; just one shovelful of coal; here in my bucket; I'll carry it home myself. One shovelful of the worst you have. I'll pay you in full for it, of course, but not just now, not just now." What a knell-like sound the words "not just now" have, and how bewilderingly they mingle with the evening chimes that fall from the church steeple near by!



"Well what does he want?" shouts the dealer. "Nothing," his wife shouts back, "there's nothing here; I see nothing, I hear nothing; only six striking, and now we meet shut up the shop. The cold is terrible; tomorrow we'll likely have lots to do again."



She sees nothing and hears nothing; but all the same she loosens her apron strings and waves her apron to waft me away. She succeeds, unluckily. My bucket has all the virtues of a good steed except powers of resistance, which it has not; it is too light; a woman's apron can make it fly through the air.



"You bad woman!" I shout back, while she, turning into the shop, half contemptuous, half reassured, nourishes her fist in the air. "You bad woman! I begged you for a shovelful of the worst coal and you would not give it me." And with that I ascend into the regions of the ice mountains and am lost for ever.

Penunggang Ember Arang (oleh. Franz Kafka)


Seluruh arang telah habis; embernya kosong; sekopnya tidak berguna saat ini; perapian menghembuskan hawa dingin; ruangan dibumbung oleh hawa membeku; pepohonan di luar kaku oleh embun beku; langit bagai perisai keperakan menolak siapa pun yang mengharapkan pertolongan dari sana. Aku harus mendapatkan arang; aku tidak mau membeku hingga ajalku; di belakangku ada perapian yang tidak mengenal kasihan, di hadapanku langit pun tidak mengenal kasihan, alhasil, aku harus berkendara dengan seluruh kecepatan di antara mereka, dan mencari pertolongan dari penjual arang di tengah. Bagaimanapun perasaannya telah menjadi tumpul terhadap permohonan-permohonanku; aku seharusnya membuktikan padanya dengan jelas bahwa aku tidak memiliki sebutir pun debu arang, dan bahwa ia menjadi sangat berarti untukku bagai matahari di cakrawala. Aku mesti datang seperti pengemis muncul di depan pintu dengan gemerincing kematian di tenggorokannya, dan mengakhiri hidupku disana, sehingga juru masak dalam rumah besar itu memutuskan untuk memberinya ampas dari poci kopi terakhir; demikian juga si penjual arang, marah, namun samara-samar tersentuh oleh perintah-Nya, “Janganlah kamu membunuh; melemparkan satu sekop penuh arang ke dalam emberku.



Cara pendekatanku harus menentukan persoalan, jadi aku berangkat dengan ember arangku. Sebagai seorang penunggang ember arang, dengan kedua tanganku pada pegangannya, kendali yang paling sederhana, aku mengemudikan diri dengan sedikit kesulitan saat menuruni tangga; namun begitu di bawah, emberku terangkat, gagah, gagah; unta-unta, membungkuk rendah di tanah, tidak mampu bangkit dengan lebih bangga, gemetar di bawah tongkat penunggangnya. Berangkatlah kami melewati jalanan yang licin karena es dengan derap yang mantap, sering aku terangkat setinggi tingkat pertama rumah-rumah; tidak pernah aku aku lebih rendah dari ketinggian pintu-pintu depan. Kemudian pada ketinggian yang luar biasa aku mengambang di luar gudang bawah tanah si penjual arang, tempat ia meringkuk jauh di bawah menekuri meja kecilnya, menulis; sehingga untuk mengurangi panas yang berlebihan dia membuka pintu.



“Penjual arang!” aku berteriak, dengan suara menggaung oleh hawa beku, diselimuti uap napasku "tolonglah penjual arang, beri aku sedikit arang; ember yang aku tunggangi ini kosong melompong saat ini. Berbaik hatilah. Aku akan membayarnya segera, aku bisa."



Si penjual arang meletakkan tangan pada telinganya. “Apakah benar yang aku dengar?” Ia bertanya sambil berpaling pada istrinya yang duduk menyulam di atas kursi menghadapi perapian. “Apakah benar yang aku dengar? Seorang pembeli!”



“Aku tidak mendengar sesuatu pun," kata istrinya sambil menarik napas dan menghembuskannya dengan tenang di atas jarum sulamnya, punggungnya terasa hangat menyenangkan.



“Tapi tentu saja.” Aku berteriak, “Ini aku seorang langganan lama, setia dan jujur; hanya saja baru kehabisan uang.”



“Istriku,” kata si penjual, “pasti ada seseorang; aku tidak bisa dikelabui sama sekali; ia pasti langganan lama, sangat lama yang menegur hatiku selama ini.”



“Ada apa gerangan denganmu?” Tanya istrinya, berhenti sebentar dan menekan sulamannya ke dada, “tidak ada siapa-siapa, jalanan sepi, semua pelanggan kita telah dipenuhi; kita dapat menutup toko untuk beberapa hari dan beristirahat.”



“Tapi aku duduk di sini di atas ember arangku,” aku berteriak bersamaan mataku berkaca-kaca tanpa merasakan dinginnya airmataku, “tolonglah, hanya melihat ke atas sini; kalian akan segera melihatku; aku mohon pada kalian satu sekop penuh arang; dan jika kalian memberi aku dua sekop, aku akan sangat berbahagia. Semua pembeli lain sudah dipenuhi bukan? Oh, jika saja aku dapat mendengarnya gemerincing ke dalam emberku saat ini!”



“Aku datang,” kata si penjual dan pergilah ia dengan kakinya yang pendek menaiki tangga gudang bawah tanah, tetapi istrinya sudah berada di sampingnya, menahan dengan tangannya dan berkata: “Kamu diam saja di sini, jika kamu sangat keras kepala, aku akan pergi melongoknya ke atas. Ingat buruknya serangan batukmu yang tiba-tiba datang semalam. Tapi demi urusan kecil, walaupun hanya sebuah khayalan, kamu segera melupakan istri dan anakmu dan mengorbankan paru-parumu. “Aku akan pergi.” “Kalau begitu yakinkan dia akan semua jenis persediaan yang kita miliki. Aku akan menyebutkan harganya nanti.” “Baiklah,: kata istrinya, dan naik ke atas jalan. Tentu saja ia melihatku seketika itu juga.



“Nyonya penjual arang," aku berteriak, “hambamu yang rendah ini; hanya satu sekop penuh arang; langsung ke dalam ember ini; aku akan membawanya pulang sendiri; satu sekop penuh yang paling buruk mutunya; aku akan membayarmu penuh, tentu saja, tetapi tidak saat ini, tidak saat ini.” Batapa kata-kata “tidak sata ini” tersebut berbunyi seperti sebuah lonceng. Dan betapa membingungkannya kata-kata itu bercampur dengan suara lonceng-lonceng senja dari menara gereja di dekat sini!



“Apa yang dia inginkan sebenarnya?” panggil si penjual.



“Tidak ada," istrinya berseru kembali, “tidak ada apa-apa disini; aku tidak melihat apa pun; hanya lonceng berdentang enam kali dan ini adalah waktunya untuk tutup. Dinginnya amat mengerikan; besok mungkin saja kita harus bekerja lebih banyak.”



Dia tidak melihat apa pun dan tidak mendengar apa pun; walau begitu dia melepaskan celemeknya dan dengan celemeknya itu, ia mencoba mengebaskan aku menjauh. Aduh, ia berhasil. Seluruh kebaikan dari sebuah tunggangan bagus dimiliki ember arangku, tapi kurang daya tahannya; sangat ringan; hingga celemek seorang wanita menyapu kakinya dari bawahnya.



“Kamu perempuan jahat,: aku berteriak selagi aku enyah, sementara dia, sambil berbalik kembali ke toko, melambaikan satu tangannya di udara, setengah jijik, setengah puas. “Kamu perempuan jahat! Aku minta satu sekop penuh arang dengan mutu paling buruk, tetapi kamu tidak memberi.” Dan serta merta aku mendaki ke celah-celah sungai es lalu menghilang untuk selamanya.


Rabu, 24 Juli 2013

Dan, Aku Mencintaimu ( DEAR YOU )

Tiga kata itu mengukir prasasti di setiap butir gerimis.
"Aku sayang kamu!"
Menimbang dan seterusnya.
Memperhatikan dan seterusnya.
Mencintai dan kau lah pasalnya.
Dan,
Selalu ada rindu yang mengemuka setiap kali kutulis kata
"tanpamu"
Dan,
Karena cinta itu kata kerja, maka jatuh cinta adalah belajar mencintai.
"Tanpamu" itu semakin menjepit ruang mimpi dan
kenyataan ketika aku ditelan kesendirian.
Serahkan saja pada malam, dan biar kan mimpi memulai kisahnya. 
Dan,
Begitu tiba ditempat mu biasa bermanja, rinduku terluka.
Dan,
Rindu itu terluka karena mengeja inci bahagia yang
kau pagutkan dibatas nyata dan mimpi.
Dan,
Ketukan palu itu jatuh kepada ku.
Sebagai terdakwa yang mencintai mu.
Dan,
Berangkat dari titik nol, mengejar satu mimpi.
Bersama mu, ini lebih berarti.
 Dan,
Hai, kamu. Kutitipkan peluk hangat yang memanas tungku.
Lugu menggebu.
Tulus melumat malammu.
Dan,
Dari mataku, bahagia pun memendar tersipu
tiap kali ku tulis kata "dengan mu".
Dan,
Bahkan tanpa kata "dengan" pun, aku mampu membawa
pulang bahagia itu. Asal ada "mu" diawal dan diakhir "ku".
Dan,
Lebih dari pantas aku mencintaimu karena air mata mu
menderas karena bahagia itu sendiri.
Dan,
Aku timbun kenangan di ladang aggur. Saat panen tiba,
aku ingin berpesta dan mabuk kepayangan bersamanya.
Selogis-logisnya, cinta itu menepatkan logika di urutan
kedua atau bahkan ketiga. Nomor satunya : kegilaan.

DEAR YOU

Segudang tanya tersimpan.
Silih berganti menampilkan teka-teki.
Serba tak pasti, membingungkan.
Kadang menurut ABCDE, kadang berubah acak SNMEGBG.
Jangan-jangan, teka-teki tentang mu adalah kombinasi kata sandi lebih dari 16 karakter.
Setiap kali aku berhenti dimata mu, kenapa persimpangan jalan yang terhampar?
 Setiap kali aku menoleh kebelakang, kenapa justru selubung hati mu yang terdepan.
Apakah hati mu adalah teka-teki silang di luar batas logika?
Lebih dari itu, sangka ku.

Senin, 22 Juli 2013

MAAF, Bertubi - tubi MAAF ( DEAR YOU )

Maaf, sebaris waktu telah mencuri kelengahanku.
Sejenak berpaling dari matamu.
Selain maaf, aku tak punya bekal lain untuk
mengembalikan senyuman mu.
Maaf kuiba.
Tulus cara ku berlindung dari 
bencimu yang bertakhta.
Untuk serapah kata yang tak sengaja,
mencederai perasaan mu.
maafkan aku.
Jika kesalahan yang berulang ini tak pantas
mendapatkan maaf mu,
maafkan aku.
Sebukit salhku, sebesar inginku menjura maaf.
Kepada mu.
Dan, maafku bukan pura-pura apa lagi tipu daya.
Jika tak percaya, tinggalkan aku sendiri
dengan penyesalanku.

Ruang Tamu ( DEAR YOU )

Kepadamu aku kembali.
Akan ku ceritankan tentang dia yang tak pernah pergi dari ingatan.
Harum tubuhnya masih tertinggal.
Melekat pekat di indra penciuman, mengharumkan ingatan. 
Sentuhan yang menghangatkan  ruas badan.
Merayap senyap tanpa ikatan.
Membuai hening dalam ingatan.
Bingkai-bingkai yang berbicara.
Menelaah dinding dengan sapa rindu yang tak usang, tanpa mengekang ingatan.
Sadarku makin nyata.
Saat rebahku disofa menuai kegelisahannya.
Dia tak ke mana!

Kenangan Itu, Kita ( DEAR YOU )

Tanpa ditulis pun, kenangan tetap serupa buku.
Lembar demi lebarnya selalu terbuka tiap kali
kita mengingatnya. Iya, kita.
Kenangan itu ibarat cermin. Dari bening dan 
buramnya, dari utuh dan retaknya, kita berkaca.
Iya, kita.

Jika kenangan kita adalah memar senja, di titik
itulah kita mengingatnya. Iya, kita.
Jika kenangan itu adalah pelangi senja, maka
ditempat kita berdiri sekarang, aku yakin kita 
berbahagia. Iya, kita.

Kenangan yang membawa dan menuntun
kita kemasa berikutnya. Sebagai kita yang 
dilanggengkan, dan bersama disaat sekarang
atau sebaliknya.