Tiga kata itu mengukir prasasti di setiap butir gerimis.
"Aku sayang kamu!"
Menimbang dan seterusnya.
Memperhatikan dan seterusnya.
Mencintai dan kau lah pasalnya.
Dan,
Selalu ada rindu yang mengemuka setiap kali kutulis kata
"tanpamu"
Dan,
Karena cinta itu kata kerja, maka jatuh cinta adalah belajar mencintai.
"Tanpamu" itu semakin menjepit ruang mimpi dan
kenyataan ketika aku ditelan kesendirian.
Serahkan saja pada malam, dan biar kan mimpi memulai kisahnya.
Dan,
Begitu tiba ditempat mu biasa bermanja, rinduku terluka.
Dan,
Rindu itu terluka karena mengeja inci bahagia yang
kau pagutkan dibatas nyata dan mimpi.
Dan,
Ketukan palu itu jatuh kepada ku.
Sebagai terdakwa yang mencintai mu.
Dan,
Berangkat dari titik nol, mengejar satu mimpi.
Bersama mu, ini lebih berarti.
Dan,
Hai, kamu. Kutitipkan peluk hangat yang memanas tungku.
Lugu menggebu.
Tulus melumat malammu.
Dan,
Dari mataku, bahagia pun memendar tersipu
tiap kali ku tulis kata "dengan mu".
Dan,
Bahkan tanpa kata "dengan" pun, aku mampu membawa
pulang bahagia itu. Asal ada "mu" diawal dan diakhir "ku".
Dan,
Lebih dari pantas aku mencintaimu karena air mata mu
menderas karena bahagia itu sendiri.
Dan,
Aku timbun kenangan di ladang aggur. Saat panen tiba,
aku ingin berpesta dan mabuk kepayangan bersamanya.
Selogis-logisnya, cinta itu menepatkan logika di urutan
kedua atau bahkan ketiga. Nomor satunya : kegilaan.
Dan,
Dari mataku, bahagia pun memendar tersipu
tiap kali ku tulis kata "dengan mu".
Dan,
Bahkan tanpa kata "dengan" pun, aku mampu membawa
pulang bahagia itu. Asal ada "mu" diawal dan diakhir "ku".
Dan,
Lebih dari pantas aku mencintaimu karena air mata mu
menderas karena bahagia itu sendiri.
Dan,
Aku timbun kenangan di ladang aggur. Saat panen tiba,
aku ingin berpesta dan mabuk kepayangan bersamanya.
Selogis-logisnya, cinta itu menepatkan logika di urutan
kedua atau bahkan ketiga. Nomor satunya : kegilaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar